from google / friedrich nietzsche
Disini ukuran kamar
3X4 meter, dengan lagu yang terdengar
dari laptop accer adalah the panasdalam dengan judul "libarani". Aku
tahu kenapa aku tidak bisa tidur, karena aku yang memaksa untuk tetap ingin merokok
dan minum kopi lalu didorong dengan isi suara pikiranku yang sungguh tidak
nyaman jika dibawa tidur. Lalu untuk menemai aktivitas begadangku ini biar
terdengar bermanfaat, dengan bercerita saja lalu menulis untuk bahan kontribusi
halamankelinci. Kalau begadang tidak ada gunanya kata bang haji roma irama
tidak boleh.
Aku ingin membahas
Ubermensch dari zarathustra yang dipelopori oleh nietzsche. Berbicara tentang konsep Tuhan menurut nietzsche
adalah lawan tanding dari kehidupan. Dan kehidupan sendiri tujuannya mati dengan jaminan surga atas nama
agama dari Tuhannya itu bagi orang yang beriman dan tunduk terhadap ajaran
agamanya . Lalu dosa adalah suatu bagian dari perasaan bersalah atas suatu
tindakan yang dilarang dari aturan atau
ajaran agamanya kemudian konsep dosa tersebut yang membuat manusia tidak bisa
berkehendak bebas. Dari pemahaman yang nietzsche lontarkan dapat diambil benang
merah bahwa jika manusia beragama dan masih/terus melakukan sesuatu yang
dianggap berdosa maka manusia tersebut digolongkan manusia munafik. Maksudnya
disini adalah manusia beragama tetapi masih dapat berkehendak bebas (konsep
dosa)
Mungkin pilihan
nietzsche adalah memilih untuk tidak memiliki Tuhan, dulu menghujat tuhan
adalah berbuatan yang paling keji. Tapi kini Tuhan telah mati, demikian juga
para penghujatnya. Yang sekarang berlaku adalah menghujat dunia adalah dosa
yang paling berat. Ubermensch adalah cara manusia memberi nilai pada dirinya
sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang (akhirat).
"aku mengajarkan Ubermensch kepadamu.
Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi (Uberwunden). Apakah yang kalian
lakukan untuk mengatasinya."
Berbicara pemahaman
kekuasaan atas kehendak ini terlukis dalam agama hindu dimana meditasi atau
titik konsentrasi yang maha dasyhat hingga pemikiran orang tersebut lebih kuat
dibandingkan dengan tubuhnya, ia bisa tidur diatas paku, atau istilah yang familiar
di Indonesia adalah debus. Jika kita berhendak pikiran kita lebih kuat maka
pikiran manusia tersebut lebih kuat dari pada tubuhnya.
Inti dari
pembicaraan nietzsche tentang Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang
sudah dibunuhnya. Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari
luar. Melalui Ubermensch orang tidak perlu lagi memberi makna pada dunia dan
hidup dengan berpaling kepada sesuatu yang ada di seberang dunia (akhirat).
Maksudnya disini adalah pengendalian sepenuhnya ada ditangan manusia itu
sendiri.
Melihat fenomena
yang terjadi sekarang sudah pernah nietzsche perbincangkan sebelumnya. Antara
agama dan jaminannya, buat apa manusia beragama jika hanya menjalani tujuan
dari jaminan hidup atas kematian adalah surga. Sedangkan manusia berdosa dapat
pengampunan dosa, yang terjadi adalah yang tadi saya bicarakan menjadi golongan manusia munafik. Manusia
beragama tetapi berkehendak bebas yang ada malahan dekadensi moral. Kurangnya
pemaknaan terhadap ajaran agamanya sendiri. Perbedaan diciptakan didunia itu
hanya sekedar agar saling mengenal satu sama lain.
Antar manusia saling
menghina agama satu sama lain, itu Cuma berlaku bagi orang-orang dekaden saja.
Jika ingin mengintimidasi suatu golongan mungkin jangan lewat menghina agama
atau Nabi suatu agama tersebut . Ada baiknya kita saling mempelajari lebih dalam
agama masing-masing (bagi yang beragama)
hingga kita bisa benar-benar mendapatkan pemaknaan seperti yang
nietzsche alami dalam ajaran Ubermensch.
Ah, sudahlah mari
kita akhiri obrolan ngalor ngidul ini. Sebenarnya sih Cuma penguasaan atas
kontrol yang dipengang manusia itu sendiri. Initinya pengendalian diri, hanya
saja nietzsche ingin terlihat seperti filsuf aja biar keliatan keren kayanya.
Terimakasi nietzsche, … sudah menemaniku begadang.
Sumber :
St. Sunardi (1996). Nietzsche. Yogyakarta LKiS
Toeti Heraty (2000). Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta Yayasan Obor Indonesia
Komentar